Grafik Pergerakan Nilai Tukar Dinar

Grafik Pergerakan Nilai Tukar Dinar
sumber: GERAI DINAR

Alasan Fundamental Untuk Memilih Dinar…

1. Dinar emas adalah uang yang digunakan oleh Rasulullah SAW tidak hanya untuk jual beli, tetapi juga untuk penerapan syariah itu sendiri.

a. Nisab zakat yang diukur dengan 20 Dinar atau 200 Dirham.

b. Batasan Hukum potong tangan bagi pencuri batasannya adalah nisab pencuri ¼ Dinar.

c. Diyat atau uang darah [dibebaskan dari hukum qisas (dibunuh)] yang besarannya 1000 Dinar.

Lantas bagaimana kita bisa tahu seseorang menjadi wajib zakat atau malah sebaliknya berhak menerima zakat kalau ukurannya yang berupa Dinar atau Dirham saja kita tidak mengenalnya ?.

2. Fakta di dunia modern ini bahwa uang kertas tidak akan bertahan terlalu lama. Semua uang kertas yang ada di dunia modern ini, tidak ada satupun yang telah membuktikan dirinya bisa survive dalam seratus tahun saja. Bisa jadi nama uangnya masih ada, tetapi jelas daya belinya sangat jauh berbeda dalam rentang waktu tersebut.

Padahal disisi lain ada uang yang daya belinya terbukti tetap lebih dari 1400 tahun yaitu Dinar. Di jaman Rasulullah SAW 1 Dinar cukup untuk membeli kambing, saat inipun 1 Dinar bisa membeli kambing yang baik di Jakarta.

Selengkapnya……..

Grafik Harga Emas Harian - Mingguan - Bulanan -Tahunan

Investasi Emas : Koin Dinar, Emas Lantakan Atau Emas Perhiasan ?

Default value (nilai asal) dari investasi emas tinggi - otomatis nilai emas akan kembali ke nilai yang sesungguhnya – yang memang tinggi.

Default value (nilai) uang kertas, saham, surat berharga mendekati nol , karena kalau ada kegagalan dari pihak yang mengeluarkannya untuk menunaikan kewajibannya –uang kertas, saham dan surat berharga menjadi hanya senilai kayu bakar.

Nah sekarang sama-sama investasi emas, mana yang kita pilih ? Koin Emas, Emas Lantakan atau Perhiasan ?

BACA SELENGKAPNYA...........

Sabtu, 23 Januari 2010

HIPERINFLASI di INDONESIA Tahun 1963


HIPERINFLASI tetap tidak dapat dihindari akibat MONEY CREATION yang terus menerus, sehingga pada tanggal 13 Desember 1965 pemerintah melakukan pemotongan nilai uang dari 1000 rupiah menjadi 1 rupiah. Kebijakan ini memberikan pukulan besar bagi perbankan nasional, terutama yang telah menyetor modal tambahan karena tergerus drastis dalam sekejab. Para nasabah perbankan juga gigit jari akibat nilai dana simpanannya juga menciut 1/1000. Segala usaha pemotongan nilai uang ini ternyata tidak berhasil meredam inflasi, dan harga tetap naik membumbung tinggi maka terjadilah HIPERINFLASI.

Ada yang mempertanyakan mengapa ekonomi terpuruk hanya karena nilai mata uang yang berubah? Itulah masalahnya karena banyak uang beredar terlalu besar akibatnya menurunkan nilai mata uang itu sendiri. Tetapi lain bagi pemilik emas, harganya masih tetap stabil, ketika rupiah terpuruk dari 1 USD menjadi 20.000 rupiah, maka harga emas akan semakin membumbung tinggi , jika melakukan jual beli didalam negeri. Silahkan anda renungkan……bagaimana kekuatan emas ini….saat itu….saat HIPERINFLASI terjadi.

Ditulis oleh logammulia di/pada November 12, 2008

Pada tahun 1963 Gubernur bank sentral ditetapkan sebagai sebutan Menteri urusan bank sentral, pada waktu itu segala urusan kebijakan moneter ditetapkan oleh Menteri urusan bank sentral dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden.

Waktu itu aksi-aksi militer guna memadamkan pemberontakan didaerah makin menggerogoti anggaran pemerintah, diperbesar lagi adanya propaganda politik misalnya, pemberontakan Irian barat, konfrontasi dengan Malaysia, pembangunan proyek2 mercusuar dan lain sebagainya, yang akibatnya menimbulakn defisit bagi negara semakin parah. Defisit negara yang semula pada tahun 1955 sebesar 14% membengkak menjadi 175%. Sehingga untuk menutupinya pemerintah melakukan MONEY CREATION yang mengakibatkan inflasi makin tinggi.

Tingginya laju inflasi ini mnegikis tingkat suku bunga riil para deposan, bahkan menjadi negatif. Akibatnya banyak bank yang menggunakan uang nasabah dimasukkan ke institusi luar yang returnnya lebih tinggi termasuk perdagangan komoditas yang untungnya jauh lebih besar. Sehingga BI memberi aturan tegas bagi bank2 di Indonesi agar uang tidak lari keluar guna menjaga likuiditas dalam negeri. Sifatnya adalah membatasi ruang gerak dan peningkatan permodalan. Pemerintah memberikan aturan bahwa seluruh saldo bank2 swasta harus dipindahkan ke rekening bank2 pemerintah. Untuk itu pemerintah mengharuskan bank2 swasta menambah jumlah modal sebesar 25 JUTA rupiah.

Namun HIPERINFLASI tetap tidak dapat dihindari akibat MONEY CREATION yang terus menerus, sehingga pada tanggal 13 Desember 1965 pemerintah melakukan pemotongan nilai uang dari 1000 rupiah menjadi 1 rupiah. Kebijakan ini memberikan pukulan besar bagi perbankan nasional, terutama yang telah menyetor modal tambahan karena tergerus drastis dalam sekejab. Para nasabah perbankan juga gigit jari akibat nilai dana simpanannya juga menciut 1/1000. Segala usaha pemotongan nilai uang ini ternyata tidak berhasil meredam inflasi, dan harga tetap naik membumbung tinggi maka terjadilah HIPERINFLASI.

Perlu diketahui bahwa gejala HIPERINFLASI ini dulu juga dimulai dengan menguatnya nilai tukar USD SEPERTI SEKARANG YANG TERJADI. Dimana USD menguat takterkendali, padahal RESESI EKONOMI terjadi di negara yang mengeluarkan uang USD tersebut. Waktu itu Indonesia amat bergantung pada IMPORT sehingga bahan2 baku dan baran di Indonesia meningkat tak terkendali, suku bunga bank meroket 90% guna mengurangi likuiditas yang terlalu besar beredar di masyarakat. Dunia usaha macet, banyak penganguran dimana-mana, GDP minus, banyak orang frustasi.

Ada yang mempertanyakan mengapa ekonomi terpuruk hanya karena nilai mata uang yang berubah? Itulah masalahnya karena banyak uang beredar terlalu besar akibatnya menurunkan nilai mata uang itu sendiri. Tetapi lain bagi pemilik emas, harganya masih tetap stabil, ketika rupiah terpuruk dari 1 USD menjadi 20.000 rupiah, maka harga emas akan semakin membumbung tinggi , jika melakukan jual beli didalam negeri. Silahkan anda renungkan……bagaimana kekuatan emas ini….saat itu….saat HIPERINFLASI terjadi.


Read more...

Cara Obama Hadapi Keresahan AS atas Dana Talangan Bank


"Kita harus menyelamatkan sistem keuangan yang bisa saja menjadi lebih buruk. Kita harus menempuh langkah tersebut awal tahun ini guna menstabilkan kondisi ekonomi," jelas Obama dalam wawancaranya dengan ABC News.

Kamis, 21 Januari 2010 | 16:36 WIB
AFP
Barack Obama

WASHINGTON, KOMPAS.com - Presiden Barack Obama mengakui terdapat keresahan masyarakat di AS sehubungan dengan dana talangan bank. Namun, Obama meminta masyarat AS harus optimistis terhadap prospek ekonomi di AS tahun ini.

"Kita harus menyelamatkan sistem keuangan yang bisa saja menjadi lebih buruk. Kita harus menempuh langkah tersebut awal tahun ini guna menstabilkan kondisi ekonomi," jelas Obama dalam wawancaranya dengan ABC News.

"Dan saya senang melihat ekonomi yang kembali bertumbuh saat ini. AS dihadapkan dengan kondisi ekonomi yang lebih baik tahun ini," tutur Obama. "Namun, hal ini belum dapat meredam rasa amarah dan frustasi masyarakat AS."

Seorang pejabat senior di Washington menerangkan rencana Obama untuk memohon dukungan wewenang lebih tinggi bagi Pemerintah AS dalam membatasi kemampuan institusi keuangan besar untuk terlibat transaksi yang berisiko besar. Dewan Perwakilan Rakyat AS telah menyetujui pembatasan transaksi tersebut dan Senat sedang menyusun regulasi perbankan baru untuk menyikapi masalah ini.

Read more...

Rabu, 13 Januari 2010

Historic and Current Hyperinflation From Across the Globe ....



Angola (1991-1999) ;Argentina (1975-1991) ;Austria (1921-1922)

Belarus (1994-2002) ;Bolivia (1984-1986) ;Brazil (1986-1994) ;Bosnia-Herzegovina (1993)

Chile (1971-1973) ;China (1939-1950)

Free City of Danzig (1923) ;Ecuador (2000);England ;Greece (1944-1953)

France (1789-1797) ; Georgia (1995) ;Germany (1923-1924, 1945-1948)

Greece (1944-1953) ; Hungary (1922-1924, 1944-1946)

Israel (1979-1985) ; Japan (1944-1948); Krajina (1993) ; Madagascar (2004)

Mexico (2004) ; Mongolian Empire (13th and 14th Century AD) ; Nicaragua (1987-1990)

Persian Empire (1294) ;Peru (1984-1990) ;Poland (1922-1924, 1990-1993)

Romania (2000-2005) ; Ancient Rome ; Russia (1921-1922, 1992-1994)

Taiwan (late-1940's) ; Turkey (1990's) ; Ukraine (1993-1995) ; Yap (late 1800's)

Yugoslavia (1989-1994) ; Zaire (1989-1996) ; Zimbabwe (1999 - present)

Seberapa besar hiperinflasi yang terjadi di negara-negara tersebut di atas?
KLIK di SINI....


Sejarah terus berulang .....


Hyperinflasi menyebabkan nilai uang kertas menjadi tidak berharga....
Saat ini masih bisa terasakan kejadian Zimbabwe...



Zimbabwe FAQ – why the hyperinflation? how do they fix it?


Why is Zimbabwe currently experiencing hyperinflation?

Zimbabwe is currently experiencing an inflation rate of over 7600% per annum. The crisis started in 2000 when the Zimbabwean government effectively destroyed their agricultural industry by displacing farmers from their lands.

Zimbabwe’s economy immediately went into recession and inflation began to rise.

So what did the Zimbabwean government do to try and correct this problem?

They printed more currency.

Why did they do that?

They had salaries to pay, projects to finance, things to buy. Just like everyone else they were suddenly faced with the crisis of having to pay much more for things, and they didn’t have enough, so they printed more money to cover it.

Is printing money a problem? Don’t governments do that all the time?

The reserve bank of a country prints currency. Current economic theory holds that an independent reserve bank is superior to a state owned bank. Independence means that they set monetary policy (without political interference) and they decide how much currency to print.

A prudent reserve bank will take care not to grow the money supply (physical currency) at a rate above the CPI inflation rate.

Zimbabwe’s Reserve Bank is state owned and the Governor, Dr Gideon Gono, has been ordered by Mugabe (on an ongoing basis over the years since 2000) to print amounts of currency that grow the money supply at a rate well over Zimbabwe’s inflation rate. Mugabe has in fact stated recently (in July 2007) that Zimbabwe will continue this practice of printing more currency as and when required.

This practice has led to hyperinflation.

How does printing more money cause hyperinflation?

Whenever money supply is increased (without a corresponding increase in the overall economy), the currency is debased. In other words, it loses value. So the cost of goods rise to counter this loss of value. If the supply of money increases above the inflation rate, the rate of inflation increases too.

Zimbabwe has been printing trillions of additional Zim dollars at a time when their economy has actually been contracting (quite rapidly). The punitive regulatory measures that Mugabe has imposed on traders (ordering that they fix their prices) has served only to increase the rate at which Zimbabwe’s economy contracts. So you have an ever increasing amount of currency chasing an ever shrinking amount of goods.

Why don’t they simply stop printing money?

If they do that, they won’t be able to pay government workers’ salaries which were recently hiked by 300% (which was an insufficient increase). They’ll default on all the things they have to pay for and they don’t want to deal with that scenario. They prefer to inflate their way out of their crisis.

Zimbabwe will immediately enter a deep depression if currency growth halts. Arguably, they are in one already, but they can still buy things with Zim dollars. If money supply growth is frozen, people simply won’t have enough currency to buy anything anymore.

If people cannot afford to buy anything, won’t prices come down?

Yes, but there are other problems. Mugabe has regulated the economy by barring businesses from raising their prices and in fact ordered them (in July 2007) to reduce prices by 50%, in an attempt to rein in inflation.

It is a losing proposition to businesses, so their alternatives have been to either defy Mugabe or to cease trading. Those who choose to defy him, are arrested. So damage is being done to whole business sectors and their supply chains. Whole industries will be wiped out if they are not free to set prices rationally.

That is the greater danger, that when the time comes that rational economic policies are applied, there will be no businesses left to respond. Confidence would have been completely lost and it will be difficult to lure the major chains back. Frankly, I don’t see a ZANU-PF government ever enjoying confidence again. Unless the people of Zimbabwe elect a new party to govern, Zimbabwe will not recover. They will remain a crippled country.

So what is the best strategy forward for Zimbabwe?

That’s the trillion dollar question. However, we do have Bolivia as an example. In 1985, they eliminated hyperinflation within a few months by enacting the following measures:

* they linked their currency to a stable foreign currency (in their case, the United States dollar)
* they froze government spending
* they stopped printing currency
* they lifted all price controls
* they deregulated their economy

Zimbabwe will most likely have to do all that and more. They could link their currency to the South African Rand like Namibia has done. The Namibian dollar is linked 1:1 to the Rand.

Zimbabwe also has to rebuild their agricultural sector.

Sources:
Bolivia
TIMELINE: Chronology of Zimbabwe’s economic crisis
A non-currency country
The World’s Greatest Unreported Hyperinflation
Read more...

Zimbabwe Hyperinflation : Pemotongan Nilai Uang Kertas oleh Hantu Inflasi .....

Soon, very much like Zimbabwe, 3 eggs will cost US$ 100 billion

. All of us will no doubt be Trillionaires. But we probably cannot afford breakfast. All our hundreds of thousand of dollars of savings, will not buy us chicken shit ! Hyper-inflation destroys savings !
So what’s not to like about Gold ?



How to Destroy a Country .....


by Tom Palmer on July 8, 2008
When you create this

and this.....?

and get this....

I saw something similar in Belgrade during the hyper inflation they experienced under Milosevic. Mounds and mounds of soggy paper notes in “wishing wells,” as people tossed in big handfuls of nearly worthless notes of high denomination. But even that hyper inflation has been greatly surpassed by the astonishing hyper inflation in Zimbabwe, which seems to have attained the status of all-time record for currency depreciation through inflation. [Note correction from Slavisa in the notes.]

Note the expiration dates on the new “Special Agro-Cheques”: “Pay to the bearer on demand twenty five billion dollars on or before 31st December 2008″
Read more...

Senin, 11 Januari 2010

Banjir Dollar 2010 : Apa Dampaknya Pada Harga Emas Dunia…?

Melonjaknya jumlah Uang US$ di pasar tahun ini, yang kemungkinan besarnya jika tidak diikuti oleh kenikan out put sektor riil yang sepadan – akan berdampak pada naiknya harga barang dan jasa secara significant – dalam satuan mata uang US$.


Harga emas internasional selama ini masih dibeli (dinilai) dengan US$; maka harga emas dalam US$ juga akan mengalami kenaikan yang siginificant sepanjang tahun ini sejalan dengan kenaikan harga-harga barang dan jasa lainnya
.

Written by Muhaimin Iqbal
Monday, 11 January 2010 08:19
Equity of Exchange

Hari ini ada tulisan menarik di harian Republika (11/01/10) dengan judul Meraba Likuiditas 2010. Dalam tulisan ini antara lain dikutip pernyataan Menteri Keuangan RI Sri Mulyani beberapa waktu lalu yang menyatakan bahwa tahun 2010 akan diwarnai ‘banjir’ Dollar AS dalam jumlah yang sangat besar, mencapai US$ 2.4 trilyun !.

Saya berasumsi bahwa sebagai Menteri Keuangan, Ibu Menteri tentu tidak sembarang mengeluarkan pernyataan. Pernyataannya sudah seharusnya didasari oleh pengetahuan yang sangat dalam dan di support oleh team yang juga sangat menguasai bidangnya. Maka saya dalam tulisan ini menganggap pernyataan tersebut sebagai prediksi yang peluang kebenarannya jauh lebih tinggi dibandingkan dengan peluang kelirunya.

Dengan asumsi bahwa benar tahun 2010 Dollar AS akan membanjiri pasar internasional, lantas apa dampak ‘banjir’ Dollar tersebut pada harga emas dunia ?. Untuk menjawab pertanyaan ini saya menggunakan Teori Kwantitas yang terkenal dengan equation of exchange-nya seperti dalam rumus diatas.

M adalah jumlah uang yang beredar, berdasarkan pernyataan Ibu Menteri tersebut diatas, maka M inilah yang akan melonjak tinggi di tahun ini 2010. V adalah kecepatan uang berputar, para ahli secara umum meragukan akan ada perubahan yang berarti karena ekonomi secara global sesungguhnya belum benar-benar pulih dari krisis sejak tahun lalu.

Karena V yang tidak berputar lebih cepat dari sebelumnya, out put sektor riil berupa barang dan jasa (Q) juga tidak akan banyak berubah. Bila dalam satu persamaan, sisi kiri melonjak tajam – maka sisi kanan juga akan mengikuti. Karena satu unsur di sisi kanan akan relatif tetap (Q), maka tinggal satu unsur lagi disisi kanan yang bisa mengimbangi kenaikan M di sisi kiri. Unsur ini adalah P atau tingkat harga barang-barang dan jasa secara umum.

Jadi melonjaknya jumlah Uang US$ di pasar tahun ini, yang kemungkinan besarnya tidak diikuti oleh kenikan out put sektor riil yang sepadan – akan berdampak pada naiknya harga barang dan jasa secara significant – dalam satuan mata uang US$.

Harga emas internasional selama ini masih dibeli (dinilai) dengan US$; maka harga emas dalam US$ juga akan mengalami kenaikan yang siginificant sepanjang tahun ini sejalan dengan kenaikan harga-harga barang dan jasa lainnya.

Harga emas pada pembukaan di pasar Sydney pagi ini yang melonjak sampai angka US$ 1,156.90/Oz bisa jadi adalah bagian dari symptoms ‘banjir’ Dollar AS tersebut diatas. Wa Allahu A’lam.

Copyright © 2010 Gerai Dinar. All Rights Reserved.
Joomla! is Free Software released under the GNU/GPL License.
Read more...

Kamis, 07 Januari 2010

Cadangan Devisa Sulit Capai US$ 100 Miliar


Menggelembungnya cadangan devisa bukan disebabkan oleh aspek fundamental ekonomi, seperti ekspor. Menurut para ekonom, besar kecilnya cadangan devisa saat ini lebih banyak ditentukan oleh aliran duit panas milik investor asing di instrumen keuangan, yang biasa disebut hot money. Sumber cadangan devisa lainnya adalah utang luar negeri, baik milik pemerintah maupun milik swasta

JAKARTA. Para ekonom menilai, tidak realistis apabila pemerintah mengharapkan nilai cadangan devisa Indonesia mencapai US$ 100 miliar. Menurut para ekonom, besar kecilnya cadangan devisa saat ini lebih banyak ditentukan oleh aliran duit panas milik investor asing di instrumen keuangan, yang biasa disebut hot money.

Sumber cadangan devisa lainnya adalah utang luar negeri, baik milik pemerintah maupun milik swasta. Jadi, menggelembungnya cadangan devisa bukan disebabkan oleh aspek fundamental ekonomi, seperti ekspor.

Karena terlalu bergantung pada arus modal jangka pendek, cadangan devisa rawan tertekan jika investor tiba-tiba menarik uangnya ke luar. Jadi, besar kecilnya cadangan devisa sangat ikut dipengaruhi kondisi politik dan ekonomi.

Penilaian ini merupakan tanggapan ekonom atas pidato Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam pembukaan perdagangan Bursa Efek Indonesia tahun 2010. Dalam acara tersebut, SBY menyatakan keinginannya agar cadangan devisa ditingkatkan jadi US$ 100 miliar.

Presiden menilai, dengan indikator ekonomi yang kian membaik, cadangan devisa bisa diangkat hingga angka tersebut. "Cadangan devisa kita saat ini sekitar US$ 65 miliar, seharusnya bisa
US$ 100 miliar," kata SBY.

Aviliani, ekonom INDEF, mengingatkan, pemilik hot money sangat sensitif terhadap situasi politik dan ekonomi. Bila suhu politik mulai panas, pemilik uang dari negeri lain bakal mencairkan kembali aset mereka. "Cadangan devisa bakal tertekan lagi," ujarnya.

Pengamat ekonomi dari Pusat Studi Kerakyatan Universitas Gadjah Mada Revrisond Baswir juga menilai, target cadangan devisa senilai US$ 100 miliar terlalu muluk. Revrisond mengingatkan, ekspor Indonesia bisa terganggu oleh pelaksanaan kesepakatan Perdagangan Bebas ASEAN dan China yang berlaku mulai 1 Januari 2010 lalu.

Revrisond menyarankan, bila serius mau menambah cadangan devisa, maka pemerintah harus menghilangkan ketergantungan terhadap hot money, dan utang luar negeri, serta memaksimalkan pendapatan ekspor dari produk yang bernilai tinggi.

Tapi, kalaupun itu terlaksana, Revrisond memperkirakan cadangan devisa tetap tak bisa mencapai US$ 100 miliar, paling tinggi hanya US$ 75 miliar-US$ 80 miliar.

Ruisa Khoiriyah, Roy Franedya KONTAN

Read more...

BI Defisit : 2009 Rp 1 Triliun ; 2010, Defisit Anggaran BI Rp 22,41 Triliun

Tahun 2010 ini, BI memperkirakan neracanya bisa mencatat defisit hingga mencapai Rp 22,18 triliun, membengkak berlipat-lipat dari nilai defisit tahun lalu. Besarnya defisit tersebut masih disebabkan oleh mahalnya ongkos moneter BI.



Rabu, 06 Januari 2010 | 08:09

ANGGARAN BI 2009


JAKARTA. Anggaran Bank Indonesia (BI) tahun 2009 mengalami defisit sebesar Rp 1 triliun. Nilai defisit ini sedikit lebih kecil dari angka yang diproyeksikan sebelumnya.

"Posisi neraca akhir tahun kurang lebih sebesar Rp 1 triliun seperti proyeksi beberapa bulan terakhir," ungkap Deputi Gubernur Bank Indonesia Ardhayadi Mitroatmodjo kepada KONTAN, pekan lalu.

Dalam proyeksi di awal tahun 2009 lalu, BI memperkirakan tahun 2009 anggaran tahunan BI (ATBI) akan mencatat defisit sebesar Rp 1,905 triliun. Defisit sebesar itu banyak disebabkan oleh membengkaknya ongkos operasi moneter BI yang tercantum dalam anggaran kebijakan. Dalam ATBI, anggaran kebijakan BI yang meliputi operasi moneter untuk menjaga nilai tukar Rupiah dan inflasi sepanjang tahun ini mencapai Rp 18,33 triliun. Sedangkan anggaran operasional diperkirakan defisit Rp 16,42 triliun.

Namun, berapa persisnya defisit dari masing-masing pos anggaran tersebut, Ardhayadi masih belum bisa mengungkap. Yang sudah pasti, nilai defisit total dari neraca BI turun tipis menjadi Rp 1 triliun.

Biaya terbesar BI adalah ongkos kebijakan untuk operasi moneter termasuk di antaranya adalah pembayaran bunga dari instrumen Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Sepanjang tahun 2009 ini, duit parkir di instrumen tersebut memang cukup tinggi. Tak hanya asing yang menempatkan duitnya di instrumen moneter, kalangan perbankan juga semakin rajin menempatkan likuiditas berlebihnya di SBI. Bunga SBI saat ini sekitar 6,5%. Dalam catatan Ardhayadi, nilai SBI sampai awal November lalu sudah mencapai Rp 280 triliun.

Tahun 2010 ini, BI memperkirakan neracanya bisa mencatat defisit hingga mencapai Rp 22,18 triliun, membengkak berlipat-lipat dari nilai defisit tahun lalu. Besarnya defisit tersebut masih disebabkan oleh mahalnya ongkos moneter BI. BI mengaku masih terus mencari upaya untuk menekan biaya SBI dengan langkah pengurangan SBI. Saat ini BI masih terus melakukan dialog dengan Departemen Keuangan untuk mengganti SBI dengan SBN sebagai instrumen moneter.


2010, Defisit Anggaran BI Rp 22,41 Triliun



JAKARTA. Bank Indonesia (BI) memperkirakan, pada 2010, angka defisit anggaran BI akan lebih besar di tahun ini. Hal itu akan terjadi, jika di tahun ini defisit anggaran BI benar-benar akan mencapai Rp 1,905 triliun.

"Tahun depan kami akan hadapi tantangan yang jauh lebih besar. Sehingga, perkiraan defisit anggaran tahunan BI sebesar Rp 22, 41 triliun," kata Pejabat Sementara Gubernur Bank Indonesia Darmin Nasution dalam Rapat Kerja dengan Komisi 11 DPR-RI di Gedung DPR, Senin (16/11).

Defisit yang luar biasa besar itu dipicu oleh defisit anggaran kebijakan di tahun depan sebesar Rp 37,40 triliun. Perlu diketahui, anggaran kebijakan BI ini mencakup biaya operasi moneter untuk menjaga stabilitas inflasi dan Rupiah.

Darmin menjelaskan, menjaga stabilitas moneter merupakan tugas utama bank sentral. Dus, berapapun biaya yang dibutuhkan untuk keperluan itu tidak bisa ditawar-tawar lagi. "Tidak boleh lebih, tidak boleh kurang," katanya.

Sejatinya, instrumen BI untuk mengendalikan moneter sejauh ini adalah Sertifikat Bank Indonesia (SBI). "Ini adalah instrumen moneter yang utama untuk menarik uang dari dan ke masyarakat," jelas Darmin.

Penempatan dana di SBI baik oleh perbankan maupun investor asing akan diganjar BI dengan bunga. Lazimnya, bunga SBI sebesar suku bunga acuan alias BI rate atau sedikit lebih tinggi. Bunga dari SBI yang sangat besar setiap tahunnya itulah, yang harus ditanggung oleh BI menjadi biaya operasi moneter.


Ruisa Khoiriyah

Ruisa Khoiriyah - Harian KONTAN

Read more...

Investasi Emas, Why Not?

Thursday, May 29th, 2008

Emas dari dulu memang menjadi fenomena yang menarik hati. Memang benar apa yang dilakukan para orang tua jaman dulu yang gemar membeli emas atau tanah dari pada barang lainnya. Karena mereka tahu bahwa harga emas bakal naek terus dari tahun ke tahun. Investasi emas untuk jangka panjang (long term) memang sangat menjanjikan disamping simple juga tidak terlalu membutuhkan keahlian khusus untuk menjalankannya. Sama halnya dengan investasi tanah. Kendalanya mungkin pada keamanan penyimpanan emas itu sendiri, apakah di simpan di rumah atau di bank (Safe Deposit Box Bank). Perjalanan harga emas dari tahun ke tahun sangat fantastis, tahun 1998 harga emas per gramnya mencapai Rp 25,000,-, tahun 2004 sudah mencapai Rp. 90,000,-, sedangkan sekarang harga per gramnya per tanggal 29 Mei 2008 sudah mencapai Rp. 279,000,-. Memang harga emas belakangan ini sempat naik turun akibat fluktuasi harga minyak dunia. Ya, setidaknya kita perlu jeli untuk memanfaatkan peluang berinvestasi emas mengingat kondisi tersebut.

Kenapa Emas?

TEORI INVESTASI

Jangan Taruh semua Telor dalam satu keranjang. Pastikan investasi anda berada dalam beberapa instrumen invesatsi anda selain tanah, saham, obligasi, dan emas tentunya.

SEJARAH BERKATA

Sejarah membuktikan emas tidak memiliki efek inflasi (ZERO INFLATION EFFECT) dan cendrung stabil dengan nilai yang riil.

TEORI KELANGKAAN (SCARCITY)

Di beberapa negara terjadi penurunan produksi emas, sehingga menimbulkan kelangkaan (scarcity) emas di masyarakat sedangkan permintaan terhadap emas meningkat. Hal ini bisa memicu kenaikan harga emas.

(Ditulis oleh : Gede Suarnaya, dari berbagai sumber)